Jika ada penghasilan yang memang dijadikan sebagai objek pajak, maka pasti ada pula penghasilan yang tidak masuk dalam objek pajak, atau dikecualikan dalam objek pajak atau PPh.
Subjek yang tidak termasuk subjek pajak
Dilihat dari pasal 3 Ayat (1) UU no. 36, tahun 2008, yang membahas tentang Pajak Penghasilan. Di sana dibahas tentang beberapa hal yang tidak termasuk dalam subjek pajak dalam negeri maupun luar negeri, antara lain :
Kantor perwakilan dari negara asing
Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan juga konsulat atau juga pejabat-pejabat lainnya, yang berasal dari negara asing. Umumnya orang-orang ini memang diperbantukan pada mereka yang bekerja serta bertempat tinggal, dengan orang yang dimaksud. dengan syarat, bukan warga negara Indonesia, dan selama di Indonesia, tidak menerima atau juga memperoleh penghasilan dari luar jabatan atau pekerjaan yang dimaksud, selama yang bersangkutan tinggal.
Organisasi-organisasi Internasional. Ada beberapa syarat untuk organisasi yang dimaksud, yaitu Indonesia jadi anggota dari organisasi tersebut, tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain, untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Pejabat dan perwakilan dari organisasi internasional.
Penghasilan yang dikecualikan oleh Objek Pajak
Berikut ini adalah beberapa penghasilan yang tidak termasuk ke dalam objek pajak. Hal ini seperti yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh, antara lain :
Bantuan atau sumbangan
– Termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat, atau juga lembaga amil zakat yang sebelumnya sudah disahkan oleh pemerintah. – Yang menerima sumbangan dari zakat. – Lembaga keagamaan yang dibentuk atau juga disahkan oleh pemerintah, baik yang diterima atau yang menerima.
Harta hibahan
– yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat. – Badan keagamaan – Badan pendidikan – Badan sosial termasuk yayasan – Koperasi – Orang pribadi yang menjalankan usaha mikro kecil Terdapat ketentuan yang mengatur hal-hal yang dimaksud, dalam hal ini Peraturan Menteri Keuangan / PMK. Selama tidak ada hubungannya dengan pekerjaan, usaha, kepemilikan, penguasaan dari pihak yang bersangkutan
Warisan
Harga termasuk setoran tunai
Diterima oleh badan sebagaimana yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1), huruf B, sebagai pengganti saham atau juga sebagai pengganti penyertaan modal.
Penggantian atau juga imbalan
– Yang berhubungan dengan pekerjaan atau juga jasa yang diterima, atau juga diperoleh dalam bentuk natura atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah itu sendiri. – Terkecuali yang diberikan oleh bukan wajib pajak. Mengingat Wajib pajak, akan dikenakan Pajak secara final atau akan dikenakan norma perhitungan khusus / Deemed profit.
Pembayaran dari perusahaan asuransi
Ini adalah pembayaran yang ditujukan untuk pribadi yang berhubungan dengan asuransi kesehatan, kecelakaan, asuransi jiwa, atau yang lainnya.
Dari ulasan di atas, sedikit banyak Anda kini sudah mengerti tentang hal-hal yang bukan termasuk subjek atau objek pajak. Untuk informasi lebih jelas, atau ingin informasi yang lebih jelas, tidak ada salahnya jika Anda berkonsultasi langsung dengan layanan pajak jasa konsultan.
Sebelum mulai penghitungan PPh 21 untuk karyawan tetap, Anda sebaiknya memahami apa itu karyawan tetap.
Apa itu karyawan tetap
Karyawan tetap sendiri adalah seseorang yang bekerja dalam sebuah perusahaan yang memang menerima penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur. Atau juga pegawai yang statusnya kontrak dalam jangka waktu yang sudah ditentukan, serta menerima penghasilan, dalam jumlah tertentu secara teratur.
Ragam metode perhitungan gaji karyawan
Dalam perhitungan PPh 21, tentunya sudah diatur oleh DJP, namun pada praktiknya, setiap perusahaan mempunyai sistem metode perhitungan PPh 21 yang berbeda, dan disesuaikan dengan tunjangan pajak dan juga gaji yang diterima karyawan.
Dalam hal ini setidaknya ada 3 metode yang paling umum digunakan, yaitu:
Metode Gross atau metode gaji Kotor tanpa Tunjangan pajak.
Metode Gross-up, atau gaji bersih dengan tunjangan pajak.
Metode Net, atau gaji bersih dengan pajak ditanggung perusahaan.
Cara menghitung PPh 21
Berikut adalah contoh perhitungan penghitungan PPH 21, untuk karyawan atau juga pegawai tetap, yang juga memperhitungkan PTKP.
Rini adalah seorang karyawati yang bekerja di sebuah perusahaan kosmetik, sudah menikah dan mempunyai 3 orang anak. Suaminya adalah seorang pegawai BUMN PLN dengan gaji Rp 6.000.000 per bulan.
Dalam hal ini perusahaan yang memperkerjakan Rin, mengikuti program pensiun BPJS kesehatan. Dimana perusahaan membayarkan sekitar 1% dari gaji untuk BPJS kesehatan, yaitu sekitar Rp 60.000 per bulan.
Ada juga iuran Jaminan Hari Tua / JHT untuk karyawannya, yang dipotong setiap bulannya sebesar 3,70 % dari gaji. Dalam hal ini Rini juga membayar iuran JHT setiap bulannya sebesar 2% dari gaji.
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja atau JKK, serta Jaminan Kematian atau JK, kali ini dibayar oleh pihak perusahaan, dengan jumlah masing-masing sebesar 0,24 % dan juga 0,3 % dari gaji yang diberikan.
Sementara pada bulan Februari 2020, di samping gaji, Rini juga menerima uang lembut sebesar Rp 2.000.000.
Maka sistem perhitungannya jadi :
Gaji pokok
6.000.000
Tunjangan lainnya
2.000.000
JKK 0,2%
14.400
Jk 0,3%
18.000
8.032.400
Penghasilan bruto
Pengurangan
Biaya jabatan 5% x 8.032.400
401.620
Iuran Jaminan Hari Tua / JHT, 2% dari gaji pokok
120.000
Jaminan Pensiun / JP, 1% dari gaji pokok
60.000
-581.620
Penghasilan neto selama sebulan
7.450.780
penghasilan neto selama setahun 12 x 7.450.780
89.409.360
PTKP
54.000.000
-54.000.000
penghasilan kena pajak setahun
35.409.360
pembulatan ke bawah
35.409.000
PPh terutang 5% x 35.409.000
1.770.440
PPh pasal 21 bulan Maret 1.770.450/12
147.538
Adapun contoh di atas adalah contoh untuk wajib Pajak yang sudah mempunyai NPWP atau Nomor Pokok Wajib pajak. Sedangkan untuk Wajib pajak yang tidak mempunyai NPWP, maka akan dikalikan 120 %. Secara otomatis PPh pasal 21 pada bulan Februari akan jadi Rp 147.538 x 12% = Rp 177.046.
Anda yang masih bingung tentang sistem penghitungan PPH 21, tidak ada salahnya jika berkonsultasi langsung dengan layanan pajak jasa konsultan, ini adalah langkah tepat untuk membayar pajak secara tepat.
Hingga saat ini, masih banyak yang bingung tentang PPh 21. Terutama untuk Anda yang pegawai, umumnya masalah seperti ini, sudah ditangani langsung oleh pihak perusahaan.
Tentang PPh 21
Adapun definisi dari PPh 21 sendiri adalah pajak yang diambil atas penghasilan dari para Wajib pajak itu sendiri. Umumnya penghasilan yang dimaksud adalah gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan juga pembayaran lainnya, yang masih ada hubungannya dengan pekerjaan, jasa, jabatan atau yang lainnya. Tentu saja kegiatan tersebut umumnya dilakukan oleh pribadi, sebagai subjek pajak, yang berasal dari dalam negeri.
Itu artinya akan ada pajak jasa konsultan yang akan dibebankan, ketika Anda adalah seorang penyedia layanan konsultan, dan baik itu jenis konsultan apapun.
Tentang objek pajak PPh pasal 21
Adapun objek pajak PPh 21 yang terdapat pada pasal 21 antara lain :
Penghasilan yang diterima oleh seorang pegawai tetap. Baik yang sifat penghasilannya teratur atau tidak teratur.
Penghasilan yang diterima atau didapat penerima dari industri. Baik secara teratur, seperti uang hasil usaha atau yang lainnya.
Penghasilan yang diperoleh dari pemutusan hubungan kerja. Baik itu uang pesangon, uang manfaat industri, uang tunjangan hari tua, dan yang lainnya.
Penghasilan pegawai yang tidak tetap, atau juga tenaga kerja lepas. Biasanya berupa upah mingguan, upah harian, upah satuan, upah yang dibayar bulanan, atau juga upah industri.
Adanya imbalan bukan pegawai. Misalnya saja honorarium, fee, komisi, dan imbalan lainnya, baik dalam bentuk apapun, yang masih ada hubungannya dengan jasa, pekerjaan dan yang berhubungan dengan hal tersebut.
Adanya imbalan atas peserta kegiatan. Mulai dari adanya uang saku, uang rapat, uang representasi, honorarium, hadiah atau juga penghargaan. Baik dalam bentuk apapun, dan nama apapun.
Tarif PPh 21
Adapun tarif PPh 21 ini, sifatnya progresif, yang artinya semakin tinggi penghasilan seseorang, maka lapis tarif PPh 21 yang akan dikenakan juga akan semakin tinggi. Berikut adalah tabel tarif pajak PPh 21, jika berdasarkan tarif pasal 17 Undang-Undang PPh, yaitu :
Keterangan
Besaran tarif PPh 21
Wajib pajak yang penghasilan tahunnya hingga mencapai Rp 50.000.000.
5 %
Wajib pajak yang penghasilan tahunnnya di atas Rp 50.000.000 sampai Rp 250.000.000
15 %
Wajib pajak yang penghasilan tahunnnya di atas Rp 250.000.000 sampai Rp 500.000.000
25 %
Wajib pajak yang penghasilan tahunnnya di atas Rp 500.000.000.
30 %
Tapi peraturan tarif PPh 21 yang disebutkan di atas, hanya berlaku untuk Anda yang mempunyai NPWP. Sedangkan bagi Anda yang tidak mempunyai NPWP, maka tarif yang diberikan akan berbeda, dan lebih tinggi, yaitu sekitar 20%, hingga 120% dan hal ini umumnya tidak bersifat final.
Harus diakui, hadirnya UMKM atau singkatan dari Usaha Kecil, Mikro dan Menengah ini, cukup memberikan kontribusi besar, terhadap perekonomian negara. Itu sebabnya, negara juga memberikan layanan khusus terhadap sistem perpajakan yang diberikan pada para pengusaha UMKM itu sendiri. Tapi yang jadi masalah adalah tidak semua pengusaha UMKM paham akan pajak UMKM tersebut.
Tentang pajak UMKM
Sebenarnya apa itu pajak UMKM, tidak lain adalah pajak yang diberikan pada Usaha Kecil Menengah / UKM atau juga pada Usaha Mikro Kecil Menengah / UMKM. Jika dilihat berdasarkan Pasal 2, UU no.36 tahun 2008, yang membahas tentang Pajak Penghasilan. Maka setiap orang pribadi yang belum mempunyai warisan dan belum terbagi, atau juga badan, serta bentuk usaha tetap, masuk dalam objek Pajak Penghasilan. Ketika Anda mendaftar perusahaan atau badan usaha, di Kantor Pelayanan Pajak / KPP, yang lokasinya dekat dengan tempat usaha Anda. Maka Anda akan memperoleh SKT atau Surat keterangan Terdaftar. Dalam surat tersebut, akan terdapat pula, beberapa hal, dalam hal ini, pajak yang harus Anda bayar. Tentunya hal tersebut tergantung dari jenis transaksi atau jumlah omset yang anda dapatkan dalam setahun.
Tarif pajak UMKM
Setidaknya ada 3 jenis pajak yang harus Anda ketahui, antara lain :
PPh pasal 4 ayat 2 atau yang disebut dengan PPH Final. Terutama jika Anda mempunyai sewa gedung / kantor, omset penjualan dan yang lainnya.
PPh pasal 21. Ketika mempunyai pegawai.
PPh pasal 23. Ketika mempunyai transaksi pembelian jasa. Misalnya saja layanan pajak jasa konsultan, dan yang lainnya.
Untuk memudahkan para pengusaha UMKM, saat ini pemerintah sudah memberlakukan PPh final 0,5 %. Ini adalah istilah lain dari PPh pasal 4 ayat 2, yang tertuang pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 tahun 2013. Dimana PPh final untuk UMKM sendiri, sekitar 0,5 %, untuk usaha yang diterima atau juga pada Wajib pajak, yang peredaran brutonya / omset kasarnya di bawah 4,8 miliar rupiah dalam setahun.
Contohnya adalah seorang pengusaha yang omset per bulannya sekitar 15 jutaan rupiah. Selain itu dirinya juga sudah memenuhi syarat memperoleh PP 23 tahun 2018. Jadi cara hitung pajak yang akan dilakukan adalah :
Bulan awal
Total omset
Tarif pajak
Bulan setor
Total pajak
Bulan Juni
Rp 15.000.000
1%
Bulan juli
Rp 150.000
Bula Juli
Rp 15.000.000
0,5%
Bulan Agustus
Rp 75.000
Dari perhitungan di atas, pada bulan Juni yang disetor pada bulan Agustus, pengusaha tersebut, masih memperoleh tarif pajak sebesar 1%. Sedangkan pada bulan Juli, yang disetor pada bulan Agustus, sudah berubah jadi 0,5%.
Tentunya pajak UMKM, ini sendiri, akan sangat membantu para pengusaha kecil dan mikro untuk lebih mengembangkan usahanya, jadi lebih maju.
PPN atau singkatan dari Pajak Pertambahan Nilai sendiri, biasanya dikenakan dan disetorkan oleh para pengusaha atau juga perusahaan yang sebelumnya sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak atau yang disingkat jadi PKP.
Pengertian Pajak Pertambahan Nilai
Secara lebih jelasnya, Pajak Pertambahan Nilai sendiri adalah pungutan yang sebenarnya dibebankan atas transaksi jual beli barang atau juga jasa, yang dilakukan oleh para Wajib Pajak, baik pribadi atau juga badan, yang sebelumnya sudah dimasukkan ke dalam kategori Pengusaha Kena Pajak atau PKP.
Objek yang terkena PPN / Pajak Pertambahan Nilai
Adapun objek PPN atau Wajib Pajak yang terkena Pajak Pertambahan Nilai adalah :
Penyerahan Barang Kena Pajak / BKP dan juga Jasa Kena Pajak / JKP yang ada di dalam daerah kepabeanan, dan dilakukan oleh pihak pengusaha itu sendiri.
Adanya impor barang yang masuk pajak / kena pajak.
Adanya pemanfaatan Barang Kena Pajak yang tidak berwujud dari luar Daerah Kepabeanan yang masuk ke dalam Daerah Kepabeanan.
Adanya pemanfaatan Jasa Kena Pajak yang berasal dari luar Daerah Pabeanan , untuk masuk ke dalam Daerah Pabean.
Adanya Ekspor barang Kena Pajak berwujud atau juga tidak terwujud serta Ekspor Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak / PKP.
Tarif PPN
Tentunya ada tarif PPN atau Pajak Pertambahan Nilai yang telah ditentukan oleh Undang-Undang no 42 tahun 2009, pada pasal 7, yaitu :
Tarif pajak
Besaran pajak
Tarif PPN umumnya untuk dalam negeri
10 %
– Ekspor barang Kena Pajak Berwujud – Eksport Barang Kena Pajak Tidak berwujud – Ekspor Jasa Kena Pajak
0 %
Adanya perubahan tarif pajak yang dimaksud pada ayat 1
Minimalnya 5 % dan paling tinggi sebesar 15 %.
Rumus dan cara perhitungan PPN
Untuk menghitung besaran nominal PPn yang harus Anda keluarkan, tentu saja tidak sembarangan, perhitungan PPN yang terutang, akan dilakukan dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak atau yang disingkat DPP.
DPP sendiri adalah jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain, yang nantinya digunakan, sebagai dasar, dalam menghitung pajak terutang.
Rumusnya adalah : PPN = tarif PPN x Dasar Pengenaan Pajak / DPP
Misalnya saja ada seorang pengusaha yang sudah menjual Barang Kena Pajak. Adapun harga jualnya sendiri adalah sekitar Rp 25.000.000. Maka cara menghitungnya adalah :
10% x Rp 25.000.000 = Rp 2.500.000, artinya besaran pajak yang harus Anda bayar adalah sekitar Rp 2.500.000.
Jika Anda masih bingung tentang PPN ini, jangan khawatir, Anda dapat menanyakannya lebih lanjut pada petugas pajak, atau juga bisa mengunjungi
Yang harus Anda ketahui di sini adalah jasa konsultan juga dapat dimasukkan ke dalam layanan PPN. Adapun besaran pajak jasa konsultan ini tarifnya sekitar 10%. Demikianlah ulasan tentang Pajak Pertambahan Nilai, semoga bermanfaat untuk Anda, terutama yang ingin tahu atau bahkan ingin mengajukan PPN tersebut!
Sampai saat ini, masih banyak dari Anda, yang masih bingung tentang besaran tarif pajak penghasilan, yang seharusnya dikeluarkan. Sebenarnya hal seperti ini sudah ada aturan dasarnya, baik itu di peraturan perpajakan atau juga Undang-Undang yang ada.
Apa itu pajak penghasilan
Apa itu pajak penghasilan atau yang kerap disebut dengan PPh, tidak lain adalah pajak yang dibebankan pada suatu penghasilan yang diperoleh dari wajib pajak. Baik itu yang berasal dari Indonesia maupun dari luar negeri. Baik dari perorangan, pegawai, pengusaha badan dan yang lainnya. Anda yang ingin mengetahui lebih jelas tentang hal-hal seperti ini juga dapat berkonsultasi dengan layanan pajak jasa konsultan, yang ada di kota atau daerah Anda.
Objek pajak penghasilan
Jika mengarah pada jenis-jenis PPh yang jadi kewajiban para wajib pajak sendiri, dapat dibagi 2 kategori, yaitu :
Penghasilan sebagai objek pajak
Maksudnya adalah, penghasilan yang memang diperoleh dari objek pajak itu sendiri. Adapun objek PPh yang dimaksud di sini ada dalam UU PPh, antara lain penggantian atau imbalan, hadiah, laba usaha, keuntungan dari penjualan atau pengalihan harta, penerimaan kembali, bunga dividen, royalti, sewa, penerimaan atau perolehan pembayaran berkala, keuntungan dari pembebasan utang, keuntungan dari selisih mata uang asing, selisih dari kelebihan penilaian aktiva, premi asuransi, adanya iuran, penghasilan yang belum dikenakan pajak, adanya penghasilan dari usaha berbasis industri, adanya imbalan bunga, dan juga surplus dari bank Indonesia.
Penghasilan yang dikenakan PPh final
Maksudnya adalah penghasilan yang akan dikenakan setelah PPh final. Adapun rupa-rupa pajak yang dimaksud antara lain, penghasilan berupa bunga deposito, penghasilan berupa hadiah, penghasilan dari hasil transaksi saham, penghasilan dari transaksi pengalihan harga, adanya penghasilan tertentu
Tarif pajak penghasilan pribadi menurut undang-undang
Jika berdasarkan Undang-undang, terutama pasal 17 ayat 1 Undang-undang no 36, tahun 2008, tentang pajak penghasilan. Maka besaran tarif potongan pajaknya jadi :
Lapisan penghasilan yang kena pajak
Tarif pajak
Dari Rp 0 hingga Rp 50.000.000
Sebesar 5 %
Lebih dari Rp 50.000.000 hingga Rp 250.000.000
Sebesar 15 %
Lebih dari Rp 250.000.000 hingga Rp 500.000.000
Sebesar 25 %
Lebih dari Rp 500.000.000
Sebesar 30 %
Adapun tarif pajak penghasilan yang diberikan di atas, berlaku setelah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dikurangi dari penghasilan bersih, yang terjadi dalam 1 tahun.
Berikut ini adalah contoh perhitungan yang dimaksud :
Jika penghasilan seseorang yang kena pajak sekitar Rp 75.000.000.
Maka tarif pajak penghasilan yang akan diberikan adalah 5%, dari penghasilan yang diperoleh oleh Wajib Pajak, yang memang mempunyai NPWP tersebut.
5 % x Rp 50.000.000 = hasilnya Rp 2.500.000
15 % x Rp 25.000.000 = hasilnya Rp 3.750.000
Keduanya lalu dijumlahkan, jadi sekitar Rp 6.250.000.
Dari ulasan di atas, kini sedikit banyak, Anda jadi lebih paham tentang apa itu pajak penghasilan, dan juga tarif perhitungan dari pajak penghasilan itu sendiri.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan masuknya sejumlah aturan omnibus pajak ke dalam Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja (Cipataker). Disitat dari CNN, dia menjelaskan ada sejumlah pasal perpajakan yang sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU 1/2020 yang sudah ditetapkan sebagai UU 2/2020. Salah satunya adalah kebijakan dan stabilitas keuangan dalam menangani wabah Covid-19.
Ada pula pengaturan seputar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam perdagangan melalui sistem elektronik, terutama dalam penunjukan subjek pajak luar negeri. RUU Omnibus Law Perpajakan pun direncanakan akan disusun terpisah dari UU Ciptaker.
Aturan perpajakan yang sudah ada di UU 2/2020
Meski pemerintah menegaskan kalau omnibus law perpajakan dalam UU Ciptaker bukan keseluruhan yang telah disusun, sebagian kebijakan perpajakan sudah masuk ke dalam Peraturan Pengganti UU 1/2020 yang kemudian disahkan menjadi UU 2/2020. Adapun omnibus law perpajakan yang sudah dimasukkan ke dalam UU 2/2020, yakni penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) untuk Wajib Pajak badan dan pengenaan pajak digital.
UU Ciptaker pun memuat empat klaster perpajakan yang tertuang dalam Bab VI yang berhubungan dengan kemudahan berusaha dan terdiri atas empat pasal, antara lain pasal 111, 112, 113, dan 114. Adapun empat UU omnibus pajak yang diatur dalam UU Ciptaker, antara lain:
Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh)
Undang-undang 7/1983 yang membahas seputar Pajak Penghasilan jo. Undang-undang 36/2008.
Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Pertambahan atas Barang Mewah
Undang-undang 8/1983 yang memuat PPN dan PPnBM jo. Undang-undang 42/2009.
Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
Undang-undang 16/2009 yang memuat KUP jo. Undang-undang 6/1983.
Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD)
Undang-undang 28/2009 yang memuat PDRD.
Tujuan penerapan klaster perpajakan dalam UU Ciptaker
Bukan tanpa alasan empat klaster perpajakan di atas dileburkan dalam UU Ciptaker, karena akan berpengaruh dalam perhitungan pajak sesuai profesi, termasuk pajak jasa konsultan. Dalam proses penyusunannya, klaster perpajakan perundang-undangan tersebut telah disesuaikan berdasarkan sejumlah aspek pengaturan sehubungan investasi yang belum masuk ke dalam UU 2/2020.
Kemudian, perubahan dalam klaster perpajakan UU Ciptaker hanya ditujukan kepada hal-hal yang berhubungan dengan ekosistem investasi. Penerapan tersebut diharapkan memberikan keputusan untuk para pelaku usaha maupun investor yang tertarik berinvestasi dan membuka lapangan kerja di Indonesia. Dengan begitu, daya beli masyarakat dapat meningkat dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi tanah air.
Perlu diketahui bahwa UU Omnibus Law Ciptaker tidak hanya membahas ketenagakerjaan, tetapi juga kluster lainnya. Oleh karena itu, Anda harus memperhatikan setiap perubahan yang dibahas dalam kluster omnibus pajak, sehingga tak menimbulkan masalah saat mengurus pajak penghasilan di kemudian hari.
Sumber:
KlikPajak (2020). Isi dan Poin-Poin ‘Omnibus Law’ UU Cipta Kerja Bidang Perpajakan https://klikpajak.id/
Menkeu Ungkap Alasan Perpajakan Masuk ke Omnibus Law Ciptaker (2020, October 8). Diakses pada 22 Januari 2021
Dihimpun dari DDTC, Ditjen Pajak telah menyatakan bahwa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 22/PMK.03/2020 kini sudah mengatur penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman atau arms length principle (ALP).
Dalam pasal 8 ayat 1 dijelaskan bahwa prinsip kewajaran dan kelaziman, khususnya yang dipakai pada pengujian material atas permohonan APA (Advance Pricing Agreement), dipakai untuk penentuan harga transfer yang wajar. Indikator harga sendiri mencakup laba kotor atau laba operasi bersih serta harga transaksi, sesuai nilai absolut atau menurut nilai rasio kisaran tertentu.
Kemudian, berdasarkan pasal 8 ayat 4, harga transfer dikatakan memenuhi prinsip kewajaran serta kelaziman usaha apabila nilai indikator harga transfernya sama atau sebanding dengan nilai indikator dari harga transaksi independen. Dalam hal in nilai indikator harga dari transaksi independen dapat berupa titik kewajaran atau arm’s length point atau dapat pula berupa titik yang ada dalam suatu rentang kewajaran atau disebut juga arm’s length range.
Jenis arms’s length principle yang harus diketahui Wajib Pajak
Hubungan istimewa antara Wajib Pajak dengan pihak afiliasi tertentu menciptakan transaksi tak wajar karena harga transaksi yang lebih rendah atau lebih tinggi dibandingkan transaksi yang dilakukan dengan pihak non-afiliasi. Oleh karena itu, Wajib Pajak diwajibkan membuat dokumen transfer pricing supaya mereka terhindar dari praktik pergeseran laba.
Ada dua jenis arms length yang perlu diketahui Wajib Pajak, di antaranya:
ALP dalam transaksi jasa
Arm’s length principle wajib diterapkan terhadap transaksi jasa yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa. Jenis transaksi yang dimaksud pun harus memenuhi ALP yang sudah memenuhi ketentuan-ketentuan tertentu, salah satunya perolehan dan penyerahan jasa yang benar-benar terjadi.
Kemudian, nilai transaksi jasa di antara sejumlah dengan hubungan istimewa sama dengan nilai transaksi dengan pihak tanpa hubungan istimewa berada dalam status sebanding atau dilaksanakan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan untuk memenuhi keperluan seperti pajak jasa konsultan.
ALP dalam transaksi pemanfaatan & pengalihan harta tak berwujud
Jenis arm’s length principle ini sama dengan poin sebelumnya. Adapun sejumlah ketentuan yang harus dipenuhi mencakup transaksi pemanfaatan tak berwujud yang benar-benar terjadi dan memiliki manfaat yang bersifat komersial atau ekonomis.
Transaksi yang berlangsung antara pihak-pihak dengan hubungan istimewa memiliki nilai yang sama dengan pihak-pihak yang tak punya hubungan istimewa. Dengan catatan, pihak-pihak yang tak punya hubungan istimewa berada dalam kondisi sebanding dengan menggunakan Analisis Kesebandingan serta mengaplikasikan metode penentuan harga transfer yang pada transaksi.
Bagaimana kalau Wajib Pajak tak dapat memberikan penjelasan memadai lewat dokumen arms length? Dalam hal ini, Ditjen Pajak memiliki wewenang menetapkan harga atau laba wajar sesuai data atau dokumen lain, berikut pula metode yang dinilai sudah tepat.
Sumber:
Mengenal Arm’s Length Principle, Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Perpajakan (2020, December 21) Diakses pada 22 Januari 2021. https://blog.pajak.io/
Cara Penerapan Prinsip Kewajaran & Kelaziman Usaha Sesuai PMK 22/2020 (2020, March 27). Diakes pada 22 Januari 2021. https://news.ddtc.co.id/
Tax avoidance merupakan salah bentuk hemat pajak dengan menghindari pajak yang masih ada dalam bingkai perundang-undangan maupun perpajakan Indonesia untuk memperoleh keuntungan. Cara ini bertujuan untuk mengefisiensikan beban pajak yang dipungut melalui transaksi yang sifatnya bukan objek pajak, misalnya saja pajak jasa konsultan.
Dalam praktiknya sendiri, tax avoidance masih dinilai riskan. Pasalnya, Wajib Pajak orang pribadi maupun badan bisa saja dihadapkan pada masalah baru, misalnya dituduh menghindari pajak secara ilegal, terutama setelah diberikannya pengampunan pajak (tax amnesty).
Teori etika dan indikator tax avoidance
Sebagian besar teori etika perpajakan menyatakan bahwa penghindaran pajak atau tax avoidance termasuk tindakan pelanggaran. Namun, ada pula teori yang mengatakan kalau tax avoidance belum terhitung tindakan tersebut selama dilakukan secara legal.
Ada beberapa alasan yang dapat dijadikan bahan tinjauan. Antara lain Wajib Pajak sedang mencari untung besar memakai fasilitas umum yang disediakan negara. Namun, negara tak memberikan sumbangsih dari Wajib Pajak bersangkutan dalam pembiayaan pembangunan fasilitas. Alasan lainnya adalah ketidaksesuaian dengan falsafah hidup yang dijalani bangsa Indonesia.
Adapun indikator tax avoidance sebagai tindakan hemat pajak meliputi:
Ketentuan tax avoidance yang berlaku di Indonesia
Ada lima ketentuan yang harus Anda perhatikan sebagai Wajib Pajak, antara lain:
Anti thin capitalization
Ketentuan ini mengharuskan Wajib Pajak mengurangi beban pajak dengan memperbesar pinjaman. Ketentuan dini diatur dalam PMK No. 169/PMK.03/2015 dan Undang-undang PPh pasal 18 ayat 1.
Controlled foreign corporation (CFC) rules
Ketentuan ini diatur dalam Undang-undang PPh pasal 18 ayat 2. Isinya memuat aturan seputar kewenangan Menkeu yang menetapkan perolehan dividen Wajib Pajak dalam penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri terjadi saat tak ada penjualan saham di bursa efek minimal 50%.
Transfer pricing
Ketentuan ini diatur dalam Undang-undang PPh pasal 18 ayat 3 yang membahas kewenangan Ditjen Pajak dalam menentukan kembali besaran penghasilan serta pengurangan. Aturan ini pun menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besaran PKP Wajib Pajak dengan hubungan istimewa.
Anti-treaty shopping
Ketentuan ini diatur dalam PER-25/PJ/2010 yang membahas pencegahan penyalahgunaan persetujuan tax avoidance ganda.
Prinsip kewajaran serta kelaziman usaha
Ketentuan ini diatur dalam PER-32/PJ./2011 yang membahas penerapan kewajaran serta kelazian usaha dalam transaksi yang terjadi di antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
Gunakan jasa konsultan profesional agar tindakan hemat pajak dengan tax voidance berjalan lancar.
Sumber:
KlikPajak (2018). Kenali 5 Ketentuan Anti Tax Avoidance yang Diterapkan di Indonesia. https://klikpajak.id/
Anjuran membayar pajak jasa konsultan mulai digaungkan sejak akhir 2020. Langkah tersebut diharapkan dapat mengembalikan kestabilan di sektor perpajakan. Apalagi jasa konsultan termasuk layanan yang mengalami peningkatan pendapatan sebesar 6%, terutama dari konsultan pajak.
Meningkatnya kebutuhan jasa konsultan
Terlepas dari situasi yang tak pasti akibat wabah Covid-19, pendapatan global sepanjang 2020 tumbuh sebesar 9,2% menjadi USD6,3 miliar dengan jumlah pertambahan tim ke angka 48.000 orang yang tersebar di 120 negara. Data tersebut dirilis oleh RSM, sebuah network kantor akuntan audit, pajak, serta konsultasi terkemuka berskala global.
Disitat dari Detik.com, jasa konsultan menyumbang pertumbuhan tertinggi, yakni hingga 15% dan memungkinkan mereka membayar pajak pertambahan nilai tepat waktu. Salah satu faktor penyebab kenaikan tersebut adalah masuknya permintaan konsultasi untuk manajemen dan bisnis, teknologi informasi (IT), hingga manajemen risiko. Bahkan pendapatan untuk jasa audit pada 2020 tumbuh sekitar 10% berkat bertambahnya klien sejak 2019.
Faktor lain yang mempengaruhi peningkatan tersebut adalah dukungan RSM terhadap para pemimpin bisnis pasar menengah (perusahaan yang memiliki pendapatan tahunan dari USD10 juta hingga USD1 miliar). Dengan begitu, mereka dapat menghadapi reorganisasi operasi bisnis hingga digitalisasi infrastruktur selama pandemi.
Membedakan PPh pasal 21 dan pasal 23 atas jasa
Seperti pajak UMKM, jenis pajak penghasilan (PPh) yang dikenakan untuk jasa konsultasi adalah PPh pasal 21. Akan tetapi, masih ada beberapa orang yang menganggap pajak untuk layanan ini adalah PPh pasal 23.
Akibatnya, banyak ditemukan kasus Wajib Pajak yang melakukan pemotongan PPh pasal 21 saat membayar honorarium, sedangkan honorarium diterima badan usaha. Di sisi lain, ada juga Wajib Pajak yang melakukan pemotongan PPh pasal 23 atas imbalan jasa untuk perbaikan tertentu meski yang melakukannya adalah Wajib Pajak orang pribadi.
Adapun perbedaan antara PPh pasal 21 dan PPh pasal 23 dapat dilihat pada tabel berikut:
PPh pasal 21
PPh pasal 23
Subjek
Pajak atas penghasilan berupa upah, gaji, tunjangan, honorarium, serta jenis pembayaran lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang berkaitan dengan pekerjaan/jabatan, dan kegiatan tertentu.
Pajak yang dipotong atas penghasilan yang diperoleh dari modal, hadiah, maupun penyerahan jasa dan penghargaan, selain yang sudah dipotong PPh 21.
Pemotong
Pemberi kerja (orang pribadi dan badan usaha). Bendahara pemerintah (pusat maupun daerah). Dana pensiun atau badan lain (contohnya seperti Jamsostek). Orang pribadi yang menjalankan kegiatan usaha maupun pekerjaan bebas serta badan yang membayar honorarium atau objek pajak lain kepada penyedia jasa tenaga ahli, orang pribadi dengan status sebagai subjek pajak luar negeri, peserta pelatihan, pendidikan, serta magang. Pajak penghasilan pun akan dipotong penyelenggara kegiatan, termasuk organisasi nasional maupun internasional, penyelenggata kegiatan, orang pribadi dan lembaga lain yang menggelar kegiatan.
Badan pemerintah. Penyelenggara kegiatan. Subjek pajak badan dalam negeri. Bentuk usaha tetap. Perwakilan perusahaan negeri lainnya. Wajib Pajak orang pribadi negeri tertentu yang sudah ditunjuk Ditjen Pajak.
Kewajiban dan ketentuan pajak untuk konsultan
Seperti profesi lain, kewajiban pajak penghasilan (PPh) yang dikenakan kepada konsultan ditentukan statusnya. Apakah konsultan yang bersangkutan bekerja sebagai pegawai saja atau merangkap sebagai tenaga kerja lepas yang menjalankan usaha sendiri. Sekilas, perbedaannya memang tipis, tetapi mempengaruhi perhitungan yang akan Anda lakukan.
Untuk menghitung pajak jasa konsultan, Anda dapat mempelajari Peraturan Direktur Jenderal PER-16/PJ/2016 yang membahas pedoman untuk memotong, menyetor, hingga melaporkan PPh pasal 21 dan/atau PPh pasal 26. Peraturan tersebut dirancang untuk pekerjaan, jasa, serta kegiatan orang pribadi, penerima penghasilan bukan pegawai yang pajaknya dipotong PPh pasal 21, salah satunya adalah tenaga ahli yang mengelola pekerjaan bebas.
Dalam hal ini, tenaga ahli yang mengelola pekerjaan bebas sesuai kebijaksanaan tersebut meliputi akuntan, pengacara, arsitek, notaris, aktuaris, hingga dokter. Pengarang, olahragawan, bintang film, penerjemah, penyanyi, pelukis, hingga penceramah adalah pekerjaan bebas lain yang dikenakan PPh pasal 21.
Maka dari itu, perhitungan PPh 21 dalam hal ini didasarkan pada profesi konsultan yang dibagi lagi menjadi tiga, antara lain:
Profesi konsultan sebagai karyawan
Sebagian besar karyawan akan dikenakan PPh pasal 21. Dengan kata lain, PPh tersebut dipotong serta dibayarkan perusahaan atau pemberi kerja lain ke kas negara dari penghasilan karyawan per bulannya. Kemudian di akhir tahun pajak, perusahaan yang berperan sebagai pemotong PPh pasal 21 wajib menyerahkan bukti potong pajak kepada para karyawannya. Jadi, karyawan dapat memakai bukti potong tersebut untuk melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh.
Profesi konsultan independen
Lalu, bagaimana kalau Anda berprofesi sebagai konsultan independen? Dalam hal ini, Anda berperan sebagai pemilik usaha jasa konsultasi. Maka, kewajiban pajak Anda masuk ke dalam kategori Wajib Pajak orang pribadi. Perhatikan juga perundang-undangan omnibus pajak yang mengatur pekerjaan yang dilakukan oleh jenis Wajib Pajak tersebut.
Profesi konsultan independen sebagai pegawai
Apabila Anda menjalankan profesi sebagai konsultan yang sifatnya independen sekaligus bekerja di perusahaan, maka kewajiban terkait PPh yang dikenakan mempunyai perhitungan sendiri. Anda bisa membicarakan hal ini dengan ahli untuk menghindari kesalahan perhitungan.
Perhitungan PPh untuk jasa konsultan
Ada sejumlah perhitungan yang dapat Anda gunakan mengingat konsultan independen termasuk pekerjaan bebas. Berikut dua metode perhitungan yang bisa Anda pilih untuk menghitung PPh.
Mekanisme PPh orang pribadi dengan NPPN
Jika Anda akan melakukan hemat pajak atau tindakan lain sebagai konsultan, perhitungan dengan Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN) memakai Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) dapat membantu untuk memperoleh rincian akurat. Mekanisme ini sudah diatur dalam Peraturan Direktorat Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 yang membahas NPPN.
Perhitungan PPh Wajib Pajak menggunakan NPPN ditujukan untuk Anda yang tak menyelenggarakan pembukuan. Selain itu, NPPN bisa dipakai juga oleh Wajib Pajak yang mempunyai peredaran bruto yang jumlahnya kurang dari Rp4,8 miliar per tahun. lantas, untuk memakai NPPN, Wajib Pajak orang pribadi harus mengajukan pemberitahuan dulu kepada Ditjen Pajak.
Mekanisme PPh orang pribadi umum dengan pembukuan
Jenis mekanisme ini berlaku pada Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki usaha dan/atau pekerjaan bebas dan mempraktikkan pembukuan, termasuk saat akan menerapkan arms length. Pembukuan dalam hal ini adalah pencatatan keuangan yang mencakup harta, modal, kewajiban, penghasilan, serta biaya hingga laporan laba rugi dan neraca.
Untuk menghitung PPh Wajib Pajak orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan, Anda bisa mengandalkan mekanisme perhitungan biasa. Adapun ketentuan tarifnya sudah diatur oleh Undang-undang PPh pasal 17. Anda pun bisa menyewa jasa pembukuan apabila data yang diolah cukup banyak dan riskan akan kesalahan perhitungan.
Semoga artikel ini memberikan gambaran pajak jasa konsultan bagi Anda yang akan berkarier di bidang konsultasi!
Sumber:
Ekonomi Dunia Merana Kena Corona, Konsultan Bisnis Malah Bergairah (2021, January 17). Diakses pada 20 Januari 2021. https://finance.detik.com/
OnlinePajak (2020). Bagaimana Cara Menghitung Pajak Konsultan? https://klikpajak.id/